Jumat, 12 Juni 2020

Catatan Jum'atan

Mari kita lihat kemana tulisan ini akan membawa dirinya.

Sebenarnya ini bukan waktu yang pas untuk menulis. Ini waktunya makan siang. Apalagi tadi pagi saya memang tidak sarapan. Hanya karena sekarang sedang hujan, berteduhlah saya di basement Masjid Raya Kota Manado. Sholat Jum'at baru saja usai dilalsanakan. Tentunya dengan protokol kesehatan covid-19. Memakai masker, membawa sajadah sendiri, dan menjaga jarak shaf.

Tadi saya sudah membunyikan motor. Sudah sampai di pintu keluar basement. Tapi ternyata diluar sedang turun hujan. Cukup deras. Beberapa hari terakhir ini jadwal turun hujan selalu di siang hari. Antara jam 12 sampai jam 14. Pas sekali sebenarnya, kalau kebetulan saya lagi di kantor ataupun kalau lagi WFH. Hujan di siang hari di jam seperti ini, sangat pas untuk menyeruput kopi hangat, atau pun bersembunyi di balik selimut. Cuman sekarang saya lagi di basement masjid ini, berteduh menunggu hujan reda. Masih harus mencari makan siang.

Biasanya sebelum masa pandemik covid-19, banyak pedagang jajanan dan makanan yang berjualan di lingkungan sekitar masjid. Sekarang mereka tidak jualan. Pengunjung Masjid masih sunyi. Biasanya saya memesan ketoprak di salah satu angkringan disitu. Harganya dua belas ribu per porsi. Hanya saja saya selalu minta dilebihkan sepotong tahu goreng. Saya selalu membayar empat belas ribu. Saya selalu minta dibuatkan agak pedis sedikit. Sedap sekali memang rasanya, apalagi disantap setelah sholat Jum'at.

Tapi sekarang sedang hujan. Pandemik covid juga belum berakhir. Angkringan disini belum ada yang berjualan. Saya masih harus mencari makan siang di tempat lain.

Saya tidak tahu persis, profesi atau bidang mana yang paling terdampak dengan adanya pandemik covid-19 ini.

Cuman menurut saya, yang merasakan dampak yang cukup serius salah satunya adalah pedagang-pedagang angkringan yang berjualan di lingkungan masjid ini. Yang mengharapkan pembeli hanya dari pengunjung masjid yang singgah menunaikan sholat.

Sekarang masjid-masjid sudah mulai menyerukan lagi sholat berjamaah. Mungkin sebentar lagi pedagang-pedagang itu akan mulai berjualan lagi. Pengunjung masjid akan mulai lagi membeli dagangan-dagangan mereka. Lalu, selama ini apakah mereka punya penghasilan ketika tidak berjualan di masjid ini? Atau barangkali mereka mencari lokasi berjualan di tempat lain yang lebih ramai lalu-lintas orang.

Hidup memang butuh perjuangan. Apalagi di masa pandemik covid-19 ini. Tapi manusia adalah makhluk yang adaptif. Siapa yang tidak bisa menyesuaikan diri maka akan tertinggal di belakang. Pemerintah sudah menyerukan kehidupan New Normal. Beraktifitas dalam tatanan Kehidupan Baru. Kegiatan ekonomi sudah mulai dihidupkan kembali. Berharap masyarakat kembali produktif. Memenuhi kebutuhan hidupnya.

Semoga di era New Normal ini kita tidak lupa bahwa yang memberi hidup, dan yang menjamin rezeki kita hanyalah Allah Azza Wajalla. Dialah Tuhan yang menghidupkan dan mematikan kita. Dialah Tuhan yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah.

Sesungguhnya pandemik covid-19 ini adalah ujian ketauhidan kita. Kepada siapa kita bergantung. Kepada siapa kita berharap. Laa ilaha illa Allah.

* * *

Sekarang hujan sudah reda. Saya masih harus mencari makan siang.

* * *


Sabtu, 26 Oktober 2019

Sabtu Bersama Bapak


Foto ini diambil oleh Isteri saya, hari Sabtu ini, di ruang tengah rumah kami. Setiap Sabtu dan Ahad saya memang punya waktu yang cukup banyak buat putri kecil kami Muthmainnah Lailatul Qadar. Jadilah foto di atas diberi caption Sabtu Bersama Bapak.

Robbi habli minash sholihin.

(*)



Minggu, 10 Maret 2019

Bulan Maret ini banyak yang Menikah

Bulan Maret ini banyak yang menikah. Pekan lalu kami menghadiri walimatul 'urs teman isteri saya. Malam kemarin kami menghadiri resepsi pernikahan teman saya. Insya Allah dua pekan nanti anak tetangga kami juga akan menikah.

Selain dari ketiga acara pernikahan itu, banyak juga kabar pernikahan dari teman-teman yang lain yang telah ataupun yang akan melangsungkan pernikahan di bulan Maret ini. Tabarakallahu.

Saya sudah banyak menghadiri pesta pernikahan, dari mulai pesta mewah yang diadakan di hotel berbintang, sampai dengan pesta sederhana yang hanya digelar di halaman rumah.

Dari menghadiri pesta-pesta pernikahan itu, saya juga banyak mendapatkan souvenir pernikahan yang dibagikan bagi para tamu undangan. Souvenir yang paling sering adalah kipas. Saya pun ketika menikah souvenirnya kipas, hehehe. 

Namun, dari sekian banyak souvenir yang pernah saya dapatkan, ada tiga souvenir yang awet saya gunakan hingga kini. Yang pertama adalah taplak tatakan cangkir. Benda ini saya dapatkan pada pesta pernikahan teman staf sekretaris di kantor saya. Tatakan cangkir ini menjadi alas gelas minum saya di kantor.

Yang kedua adalah talenan. Benda ini saya dapatkan dari pesta pernikahan teman bermain futsal. Waktu itu saya masih bujang. Setelah menikah, talenan ini menjadi sering digunakan bahkan hampir setiap hari oleh isteri saya. Untuk alas mengiris bawang, lombok, sayur, dan bumbu dapur lainnya.

Yang ketiga adalah jam dinding. Benda ini saya dapatkan pada pesta pernikahan salah seorang teman yang ketika kuliah dulu menjadi adik tingkat saya. Waktu itu pestanya diadakan di Manado tempat saya merantau kerja dan berdomisili. Jam dinding ini masih awet hingga sekarang dan menghuni salah satu ruangan di rumah kami.

Souvenir ini sepertinya menjadi salah satu pernak-pernik yang hampir selalu ada disetiap pesta pernikahan, selain photo booth yang juga mulai sering disiapkan di pintu masuk.

Namun, pernikahan bukan soal bagaimana pesta pernikahan kita ataupun bukan soal sovenir apa yang kita siapkan. Yang lebih penting ternyata adalah niat. Kita menikah karena dan untuk apa? 

Apakah karena kita sudah bekerja maka harus menikah? Apakah karena teman-teman seangkatan kita sudah banyak menikah maka kita pun harus menikah? Apakah karena orangtua kita sudah kepingin menimang cucu maka kita harus menikah? Apakah karena umur kita sudah memasuki angka tigapuluhan maka menikah sudah tidak boleh ditunda lagi?

Ternyata yang lebih penting dan utama adalah niat. Maka niatkanlah menikah untuk beribadah karena Allah. Begitulah pesan Agama. Bagi yang sudah menikah, belum terlambat untuk memperbaharui niat. Bagi yang belum menikah, belum tibakah saatnya untuk menikah? Semoga saatnya segera tiba, dan ketika saat itu tiba maka niatnya adalah menikah karena Allah. Aamiin Allahumma Aamiin.

Salam dari kami di Manado ...

(*)






Kamis, 17 Januari 2019

Pendidikan Membaca pada Anak

Assalamu'alaikum, apa kabar 2019?

Tulisan berikut ini saya salin dari beranda facebook seorang Teman.


* * *


Dulu,  saat saya masih aktif jadi guru privat,  saya pernah terkejut saat mendapati anak usia 4 tahun belum bisa menyebutkan nama binatang dan sayuran yang umum dilihat yang ada di sebuah buku cerita anak.  Setelah ditelusuri,  ternyata anak itu belum pernah dibacakan buku apapun dari bayi. Empat tahun usianya,  belum pernah dibacakan buku! 

Bukan,  saya bukan sedang mengkritisi kecerdasannya. Saya mengkritisi kenapa hingga usia 4 tahun orang tuanya gak pernah membacakan buku apapun ke anaknya. Dan kemudian, tiba-tiba mengeleskan anaknya baca tulis hitung!

Anak usia 4 tahun, sebelumnya gak pernah dibacain buku, lalu mau les calistung! 

Masya Allah

Kalo boleh saya ibaratkan, ini sama aja kayak gelas kosong yg dingin lalu tiba2 disiram air panas mendidih dari kompor. Apaa yg terjadi? Retak, pecah, umeb lah otaknya. 

Belakangan,  seiring bertambah seringnya jam terbang ngelesin, saya semakin terkejut karena kasus seperti ini ternyata UMUM terjadi. Banyak sekali orang tua yg gak pernah membacakan buku pada anaknya dari bayi,  kemudian ujug2 tiba2 mengeleskan anaknya membaca. Atau membiarkan anaknya masuk TK/SD untuk diajari membaca.  Usia 5tahun, 6tahun, belum pernah dibacain buku dan tiba2 disuruh cepet bisa baca. 

Pak, Bu yang bijaksana
Sungguh anak itu bukan kelinci percobaan yang bisa kita coba-coba kemampuan otaknya sesuka hati. 

Anak itu baruuu boleh diajarkan membaca saat sudah seriiiiing dibacain buku,
saat sudah luluuus kemampuan pra membacanya seperti menggunting, menghubungkan titik-titik, memahami konsep cerita dll. 

Emang apa bedanya anak yg biasa dibacain buku dan yg gak biasa dibacain buku saat mereka belajar membaca? 

BEDA. Saya membuktikan sendiri keduanya berbeda. 

Anak yg biasa dibacain buku akan fokus MEMAHAMI BACAAN. Sedangkan anak yang gak biasa dibacain buku akan fokus MEMBACA TULISAN.

Misal,  ada gambar buku yang di bawahnya bertuliskan B-U-K-U
Anak yg biasa dibacain buku akan dengan spontan berkata BU-KU meski belum diajari mengeja. Dia tahu kalo itu gambar buku, maka tulisan di bawahnya adalah buku. 

Sementara anak yg gak biasa dibacain buku, akan dengan susah payah mengeja tulisan itu. 

be u BU
ka u KU
BU KU

Ya.  Dia fokus pada tulisan. Bukan konteks. 

Maka,  mengajari anak yg gak biasa dibacain buku ituuu lebih susah karena si anak lebih fokus MEMBACA TULISAN,  bukan MEMAHAMI BACAAN. 

Yang model begini,  kalo udah mahir membaca lalu disuruh membaca satu cerita utuh, dia hanya akan sekadar membaca tulisannya.  Saat ditanya,  apa isi ceritanya? Dia gak tau. 

Murid les saya banyak yg begini.

Beda dengan yg biasa dibacain buku, dia MEMBACA untuk MEMAHAMI. Saat sudah mahir membaca dan disuruh membaca satu cerita utuh, dia akan bisa menjelaskan ulang isi cerita tersebut. Bahkan ditambahin komentarnya tentang cerita tersebut. Atau bahkan melontarkan pertanyaan2 terkait cerita yg dibaca.

See?

Logika yang benar itu, biasain membacakan buku pada anak dulu dari kecil, baruuu ajarin anak membaca. 
Bukaaan bisa baca dulu baru dibiasain baca buku! 

Efeknya apa di masa depan kalo ujug-ujug diajarin baca?

Yaaa kayak timeline kita sekarang ini. Mudah terprovokasi,  mudah diadu domba,  mudah tersulut emosi, mudah dipecah belah sama informasi apapun yg dibaca. Karena membacanya hanya sekadar membaca,  gak ditelaah dulu,  gak di tabayun dulu. Duuuh

Nah,  balik lagi ke pentingnya membacakan buku pada anak dari kecil,  kita gak mau kan jadi orang tua yg dzalim?
Kita gak mau kan ngerusak otak anak kita sendiri?
Kita gak mau kan anak kita CUMA sekadar bisa MEMBACA?

Maka, 
Pak,  Bu yang bijaksana
Luangkanlah waktumu sejenak
Tatap beningnya mata anak-anak
Penuhi fitrah cinta ilmu sang anak
Ceritakanlah kisah-kisah teladan penuh hikmah yang membutuhkan semangat menyeruak
Bermainlah bersamanya tunjukkan betapa indahnya dunia sambil mensyukuri ciptaan Sang Rozzak
Bacakanlah satu dua buku untuknya jangan mengelak

Pak,  Bu yang baik hatinya
Sediakanlah fasilitas baca yg mumpuni di rumah sendiri
Atau kalo tak bisa,  ajaklah balitamu ke perpus kota minimal seminggu sekali
Sekarang jangan banyak beralasan lagi!

Anak kita berhak memiliki orang tua yang peduli pada kecintaan membaca,  bukan sekadar mahir membaca.

~Novika Amelia

(*)